Rabu, 19 Desember 2012

DIRGAHAYU PROV NTT KE 54



MOMEN TRANSFORMASI NTT
Frits R Dimu Heo, SH.MSi
Pengamat Ekonomi Pembangunan
Hari ini adalah Hari Ulang Tahun Provinsi Nusa Tenggara Timur yang ke 54, berbagai persiapan seremonial sudah dan sedang dilakukan Pemprov NTT. Yang menjadi pertanyaan mengelitik adalah apakah setiap tahun hanya diutamakan seremonial perayaan HUT NTT belaka.
Dalam tulisan ini saya mengajak kita semua untuk berpikir akan masa depan NTT, apakah Cuma jalan ditempat sejak Sunda Kecil diganti namanya menjadi Nusa Tenggara tahun 1953 hingga sekarang ?.  Mengandalkan Leading sector Pertanian.
PARADIGMA BARU :
Berbagai perubahan besar di tingkah daerah akan memaksa berbagai pemerintah daerah termasuk Pemda NTT untuk mau tidak mau harus meninjau ulang pendekatan dan cara pandang mereka dalam mengelola daerah NTT. Saya setuju pendapat pengamat lain bahwa saatnya NTT berubah dari leading sector Pertanian  menjadi  leading sector Pariwisata.
Perubahan paradigma  ini akan memaksa pemerintah daerah untuk mentransformasi diri. Arti kata transformasi dalam kamus Besar Indonesia adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, karakter, pola pikir dll), perubahan gramatikal, menata kembali unsur-unsurnya. Transformasi dimaksud adalah dari ”bureaucratic-monopolistic government” menjadi ”entrepreneurial-competitive government.”
Entrepreneurial government adalah pemerintah yang bijaksana dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul untuk memakmurkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Sementara competitive government adalah pemerintah daerah yang mendorong adanya kompetisi di antara penyedia layanan publik dalam upaya mereka memberikan excellent services kepada para konstituennya, apakah itu investor, wisatawan, atau masyarakat luas.
Perubahan kedua mengharuskan mereka metamorfosis diri dari pemerintah daerah yang bermental ”cuek-bebek” menjadi pemerintahan daerah yang berorientasi pelanggan (customer-driven government) dan bertanggung-jawab (accountable government) terhadap seluruh stakeholder-nya secara seimbang.
Customer-driven government adalah pemerintah daerah yang selalu berorientasi dan peduli terhadap setiap kebutuhan pelanggannya. Mereka secara serius mendengar (misalnya melalui investor satisfaction survey) keinginan dan ekspektasi pelanggan dan merespons setiap keinginan tersebut dalam rangka memuaskan mereka.
David Osborne, seorang pakar manajemen pemerintahan, menyebut pemerintah semacam ini dengan sebuah ungkapan, “put the customers in the driver’s seat (meletakan pelanggan di kursi pengemudi)”.
Siapakah pelanggan pemerintah daerah? Pelanggan utama tentu saja adalah masyarakat yang mereka pimpin. Pelanggan lain adalah siapa saja yang memiliki potensi dan kontribusi bagi upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut. Mereka bisa investor yang menanam modal di daerahnya, kalangan industri yang mendirikan pabrik di situ, atau turis asing yang berkunjung membawa devisa.
Customer-driven government adalah juga accountable government yang sangat serius menempatkan akuntabilitas publik pada posisi terdepan dalam praktek kepemimpinan mereka, sebagai manifestasi “pertanggung-jawaban” mereka kepada pelanggannya.
Sementara perubahan besar ketiga akan mendorong pemerintah daerah untuk mulai mengevolusi diri dari pemerintah yang hanya memiliki “local orientation” menjadi pemerintah yang memiliki “global-cosmopolit orientation.” Pemerintah daerah semacam ini memiliki wawasan global. Mereka membuka diri terhadap masuknya sumber daya global dan berupaya mendapatkannya, tidak peduli dari mana sumber daya tersebut berasal. Mereka membuka diri terhadap investor asing, perusahaan asing, kepemilikan asing, produk asing, teknologi asing, orang-orang terbaik asing, sepanjang semua memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Di samping itu global-oriented government juga berupaya keras membangun kemampuan inovasi, kapabilitas operasional, dan jaringan berskala global.
Rosabeth Moss Kanter menyebutnya 3Cs: Concept, Competence, Connection sebagai jembatan bagi mereka untuk dapat berpartisipasi dan mengambil keuntungan maksimal dari terbentuknya ekonomi global.
Berdasarkan konsep 3Cs itu Moss Kanter mengatakan bahwa untuk sukses di dalam ekonomi global setiap daerah harus dengan tepat memposisikan diri berdasarkan tiga pilihan positioning berikut. Pertama, berdasarkan C yang pertama yaitu Concept, daerah harus memposisikan diri sebagai penghasil konsep dan ide dalam rangka mewujudkan inovasi yang memiliki nilai pasar. Contoh daerah semacam ini adalah Silicon Valley di Amerika atau Bangalore di India.
Kedua, berdasarkan C yang kedua yaitu Competence, daerah harus memposisikan diri sebagai pusat manufaktur di mana daerah tersebut memiliki kemampuan memproduksi barang / jasa dengan kompetensi dalam quality, cost, delivery (QCD) yang kokoh. Contoh dari daerah semacam ini adalah Tangerang yang menjadi basis operasi perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta, atau singapura menjadi basis pariwisata Asia.
Ketiga, berdasarkan C yang ketiga yaitu Connection, daerah harus memposisikan diri sebagai hub yang memungkinkan para pedagang (trader) dari seluruh dunia berinteraksi satu sama lain dan membangun jaringan. Daya saing utama dari daerah semacam ini terletak pada kemampuannya sebagai penghubung dan pemberi akses bagi satu pihak tertentu kepada sumber daya pihak lain dari seluruh dunia. Contoh dari daerah semacam ini adalah Cina yang menjadi business hub bagi para pebisnis dari seluruh kawasan Asia.
TRANSFORMASI KARAKTER DAN POLA PIKIR
Transformasi berikut yang perlu dilakukan Pemda NTT adalah perubahan karakter dan pola pikir pemimpin daerah (Akademisi, businessman dan governance) yang melahirkan pemimpin berkarisma, berkarakter dan berpola pikir yang baik yang dibuktikan / tolak ukurnya adalah berkurangnya tingkat angka kriminal dan kejahatan sosial lainnya ditengah masyarakatnya dan meningkatnya kesejahteraan masyarakatnya, karena pepatah mengatakan bahwa busuknya ikan dimulai bukan dari ekor melainkan dari kepala, artinya jika para pemimpin daerah baik  maka dengan sendiri yang dipimpin itu akan meniru yang baik pula, dan endingnya biasa ditebak, rakyat akan semakin sejahtera lahir dan batin. Contoh daerah seperti ini adalah di Kota Medellin Kolumbia, bermula kota gembong narkoba internasional dipimpin oleh Pablo Escobar dan yang secara konstan menyebabkan kejahatan konflik dan perang berkepanjangan di Kolombia. Kota ini dikenal sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia. Tahun 1991 tercatat 6,349 pembunuhan, 10 kali lipat dari Chicago. Pemerintah Amerika Serikat menutup konsulernya di kota ini dengan alasan keamanan tahun 1981. Namun Di awal abad 21, Medellín telah menjadi kota yang aman bagi penduduk dan wisatawan asing karena perubahan sosial dan ekonomi yang begitu pesat. Pemerintah lokal dibantu penduduk lokal bergotong royong menghapus citra buruk dan meningkatkan citra kota, dengan hasil yang dramatis, rakyat menjadi sejahtera.
Semoga menjadi roll model bagi daerah NTT. Saatnya NTT berubah……. 
**) Penulis adalah pengamat Pembangunan Ekonomi NTT, gelar Magister Studi Pembangunan pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 
Tulisan ini pernah dibuat di Victory News, hal 4 Opini tanggal 20 Desember 2012, untuk merayakan HUT NTT ke 54....

Senin, 06 Desember 2010

IMPIAN SAYA DAN IMPIAN ANDA !!

MAKE YOUR DREAM COME TRUE.....!!!
Saya mau sharing impian saya, saya bekerja di sebuah Bank ternama di salah satu kota di Indonesia dan Bank tersebut sering mendapat Award baik dari Majalah Infobank maupun majalah Investor dan tidak heran kesejahteraan karyawan sangat diperhatikan dan bahkan menurut saya sudah berkecukupan jika dibanding dengan orang lain yang masih mencari sesuap nasi setiap hari. Pada saat saya berdiri di Lantai V gedung Bank tersebut, saya melihat sekitarnya ternyata sangat kontras dimana rumah-rumah kumuh begitu padat dan anak-anak dengan telanjang badan berlari kesana kemari sementara kita didalam gedung merasa sejuk, nyaman, berpakaian rapih dan berdasi. Saat itu saya merasa tereyuh melihat situasi tersebut dan kemudian saya merenung sejenak ternyata diluar sana tidak seenak yang saya bayangkan. Dari rasa peduli tersebut saya ingin sekali agar Bank membantu masyarakat lokal yang sangat miskin untuk menjadi sejahtera melalui program pemberdayaan masyarakat (community development) atau bahasa krennya CSR (corporate social responsibility).Tindakan awal yang saya lakukan yakni mempengaruhi pihak manajemen Bank namun apa dikata ternyata ide saya tersebut ditolak mentah-mentah karena Bank baru memikirkan masalah internal. Akan tetapi saya tidak mau berputus asa pokonya impian saya ini harus terwujud dan akhirnya jalan selanjutnya saya harus membuat opini melalui tulisan di sebuah majalah ekonomi dan puji Tuhan ternyata tulisan saya itu ditanggapi positif oleh manajemen Bank, namun apa boleh dikata mungkin itu hanya basa-basi dari pihak manajemen Bank, karena hingga detik ini belum juga ada tindakan nyata. Saya ingin agar Bank :
  1. Membuat pilot proyek berupa adobsi desa miskin.
  2. Pemberian bantuan bukan dalam bentuk derma/charity (ibarat Santa Klaus) tetapi dalam bentuk pemberdayaan masyarakat lokal. Ibarat jangan diberikan “ikan” tetapi berikan “kail”.
  3. Sumber dana dari rekening bank yang dibiayakan dalam rencana anggaran minimal 5 % sampai dengan 10 % dari pendapatan / laba tahun sebelumnya.
  4. Harus ada komitmen dari pemilik (shareholder) dalam RUPS untuk mewujudkan CSR.
  5. Merubah Visi, Misi struktur Bank.
  6. Menjabarkan CSR dalam Business Plan dan Kebijakan Manajemen.
  7. Membentuk suatu Divisi khusus yang membidangi Comunity development.
Hanya itu impian saya... bisa tidak keinginan saya itu terwujud? MAKE YOUR DREAMS COME TRUE.!!! Agama saya mengajarkan untuk memberikan sepersepuluh dari pendapatan kepada orang yang berkekurangan apakah hal itu bisa diterapkan dalam Bank ? Sekarang apa komentar anda. Terhadap impian saya itu.. apa terlalu muluk-muluk atau apa..?
MAU BERBAGI IMPIAN ?
Atau .. mau berbagi Impian di sini juga boleh ? Silahkan sharingkan impian2 anda di sini… Biarkan Tuhan yang akan menjawab impian anda........

MAKE YOUR DREAM COME TRUE !

"itulah sebabnya kita berjerih payah berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup....(1 Timotius 4 : 10)" 
Memiliki impian didalam hidup ini adalah sah-sah saja. saya yakin bahwa sebagian besar dari Anda akan menginyakan. Namun persoalan utamanya, bukan apakah Anda memiliki impian hidup atau tidak, tetapi apakah Anda sudah memperjuangkan impan tersebut menjadi nyata atau tidak. Impian yang tidak pernah diperjuangkan menurut saya bukan impian, tetapi agan-angan belaka. Tentu saja tidak ada seorangpun juga yang bisa meraih kesuksesan sejati atau mencapai kebermaknaan dalam hidup kalau hanya sekedar berangan-angan saja.
Bagi saya pribadi, salah satu tokoh favorit saya adalah Martin Luther King, Serang yang tidak hanya sekedar bermimpi seperti judul pidatonya yang sangat terkenal “I have a Dream”, tapi benar-benar memperjuangkan impiannya. Sekarang ini kita melihat suatu kenyataan bahwa impian Martin Luther King menjadi kenyataan bahwa diskriminasi ras di Amerika semakin memudar.
 
Satu contoh lagi orang yang benar-benar “bermimpi” adalah Nelson Mandela. Untuk memperjuangkan impiannya tersebut dia bahkan harus membayar harga yang sangat mahal yaitu mendekam 27 tahun di penjara karena menentang system apartheid saat itu. Namun sejarah toh akhirnya membuktikan bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Nelson Mandela menjadi presiden Afrika Selatan dan menciptakan perubahan yang luar biasa di Negara tersebut. Apakah Anda benar-benar bermimpi, atau Anda hanya sekedar berangan-angan? Angan-angan tidak akan pernah membuat Anda sampai kepada tujuan. Hanya impian yang di perjuangkanlah yang membuat Anda sampai kesana. Itu sebabnya perjuangkan impian Anda bersama Tuhan. Yakinlah bahwa penyertaan dan kekuatannya akan memampukan Anda mewujudkan impian Anda. Make Your Dream come true with God. *) Diambil dari Renungan Harian Spirit bukan Oktober 2008

KEMISKINAN + KENAIKAN BBM - CSR = BANK DAERAH


Kemiskinan dan Kenaikan BBM :
Masalah kemiskinan adalah problem sosial klasik, sudah dibicarakan sejak jaman dahulu kala dan masih terus dibicarakan, karena hingga detik ini belum juga dapat diselesaikan. Terkadang kemiskinan itu dianggap memalukan seseorang sehingga merasa harus menjauh dan tidak mengakuinya. Namun tidak sedikit pula orang memanfaatkan kemiskinan sebagai media untuk memperoleh dana bantuan atau mengemasnya dalam proyek-proyek sosial dan bahkan masalah kemiskinan itu dibicarakan dalam forum-forum resmi yang menghadirkan pakar/ahli kemiskinan, dibuat di hotel berbintang dan disiarkan secara langsung melalui media televisi ke seluruh penjuru tanah air, mengeluarkan biaya ratusan juta bahkan milyaran rupiah, namun mengapa kemiskinan itu tidak hapus juga ?. jawabannya “…..tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…...” (sebait sair lagu Ebit G. Ade).
Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang atau sebesar 16,58 % dan sudah pasti tingkat kemiskinan akan bertambah lagi dengan adanya kenaikan BBM sebesar 30 % nanti. Pemerintah harus bersiap-siap menerima pertambahan penduduk miskin baru sedikitnya 15,68 juta, artinya, dengan pertambahan penduduk miskin itu, penduduk miskin Indonesia pasca kenaikan harga BBM akan menjadi 52,85 juta orang. Jumlah yang bombastis dan tentu saja akan menambah berbagai problem sosial di negeri ini.Penyebab dari kemiskinan itu dipengaruhi oleh dua kondisi yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi karena sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan terjadi musibah atau bencana alam. Sedangkan “kemiskinan buatan” terjadi karena dikondisikan sedemikian rupa oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah setempat yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia. Itulah yang disebut kemiskinan struktural akibat dari pengaruh kondisi struktur sosial setempat.
Sebagai contoh Dinas Kesehatan Propinsi NTT mencatatat bahwa berdasarkan data dari 20 kabupaten/kota di NTT periode Januari 2007 hingga akhir Februari 2008, terdapat 497.777 bayi di bawah lima tahun (balita) mengalami gizi buruk. Dari jumlah tersebut, 416.197 (83,64 %) adalah penderita gizi buruk (malnutrision), 81.380 (16,36%) kurang gizi (under nutrition), 68.873 anak gizi buruk dan komplikasi (malnutrition/out complication) sebanyak 12.340. Sedangkan balita penderita busung lapar sebanyak 167 anak. Terakhir yang mencuat di awal tahun 2008 ini adalah busung lapar di Rote-Ndao. Hingga saat ini sudah tercatat sebanyak lima orang balita meninggal dunia akibat busung lapar. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao menetapkan kasus busung lapar tersebut sebagai kejadian luar biasa (KLB). Pemkab Rote Ndao pun membutuhkan dana miliaran rupiah untuk mengatasinya.Sipri Seko (http://sipriseko.multiply.com/journal/item/59) dalam tulisannya menjelaskan bahwa dana miliaran rupiah yang dialokasikan pemerintah untuk mengatasi persoalan busung lapar ternyata terbuang percuma. Tak ada yang menyangkal kalau kemudian ada selentingan yang mengatakan bahwa kondisi ini sengaja diciptakan untuk menjadi lahan meraup rupiah yang beterbangan sangat rendah. Praktek-praktek inilah yang memperkuat pendapat bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskinan strukural. 
Penanganan KemiskinanDalam Teori ekonomi dijelaskan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat melalui peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan sudah banyak dilaksanakan seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan dan bantuan langsung tunai (BLT) namun hingga kini persoalan kemiskinan belum juga tuntas. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya pengentasan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak secara tuntas dan serius mengelolah kepemerintahan yang baik (good governance) dan apalagi menjadi sustainable governance masih jauh dari angan-angan.Kenyataan ini menunjukkan bahwa saat ini tidak perlu banyak berharap dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya Bank-bank Daerah sebagai pengerak ekonomi rakyat memperhatikan kepentingan masyarakat lokal (stakeholders). Jika Bank-bank Daerah masih mempertahankan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidakpuasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) yang termarginal akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kontribusi yang nyata.
Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank Daerah perlu care / peduli terhadap masyarakat lokal (stakeholders) dengan maksud agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal. 
FILOSOFI BANK DAERAH DAN CSR
Pada hakekatnya Bank Daerah Seluruh Indonesia (BPD-SI) didirikan dengan peran yakni sebagai alat penggerak utama perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin termarginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank). Pendapat awam melihat bahwa ada dua peran yang bertolak belakang yakni disatu sisi Bank Daerah sebagai alat bisnis untuk kepentingan shareloders (pemegang saham) dan dilain sisi sebagai alat sosial. 

Menurut Sunarsip (Kepala Ekonom IEI), kondisi sekarang Bank Daerah telah mencebur terlalu jauh sebagai Bank yang tidak mungkin dapat bersaing dengan Bank Umum lainnya karena kelasnya berbeda, ibaratnya sama saja mempertemukan antara Elias Pical dengan Mike Tyson.Melihat kondisi seperti ini dalam rangka “back to habit”, sudah saatnya Bank Daerah melepaskan jubah paradigma lamanya yang hanya terfokus pada profit oriented namun berparadigma baru yakni triple botom line (triple P), selain mencari keuntungan (Profit) tetapi juga Bank Daerah harus memperhatikan kondisi marginal masyarakat lokal /stakeholders (People) dan kondisi lingkungan sekitarnya (Planet) agar tetap sustainable walaupun didera dengan kondisi ekonomi nasional yang tidak stabil. Inilah yang sekarang kita kenal dengan “corporate social responsibility /CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan”.

Hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] di beberapa perusahaan Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut, menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.

Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang. Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yang masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.

APAKAH CSR MENU WAJIB DI BANK DAERAH ?

CSR DAN PERUSAHAAN :
Tuntutan globalisasi mewajibkan perusahaan harus kompetitif dan sustainable, dimana persaingan antar perusahaan semakin ketat. Untuk menciptakan perusahaan yang kompetitif, maka perusahaan perlu didukung oleh aspek-aspek internal perusahaan (misalnya kinerja keuangan, SDM, dan teknologi) yang handal dan aspek eksternal perusahaan (misalnya pasar, customer base, relasi, lingkungan dan regulasi pemerintah). Salah satu hal yang berpengaruh terhadap kelangsungan sebuah perusahaan namun belum mendapat perhatian serius dari pihak perusahaan (pengurus dan pemegang saham) adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan / Corporate Social Responsibiliy (selanjutnya disebut CSR).
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSR) in fox, et al (2002), definisi CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah :
“komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan”.
Jadi dengan demikian CSR pada dasarnya memiliki keinginan yang sama yakni menjalankan bisnis dengan lebih bermartabat, dengan konsekuensi akan mengurangi profit. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Kesadaran menjalankan bisnis bukan sekedar mencari profit semata, yang masih minim dimiliki oleh sebagian pelaku bisnis di Indonesia, namun faktor kesinambungan tersebutlah yang sangat menentukan masa depan sebuah usaha.
Sebagai contoh dari persoalan diatas, jika Anda seorang pengelola usaha, maka Anda punya pilihan untuk mendapatkan keuntungan antara 35 % sampai dengan minimal 10%. Agar mendapatkan keuntungan 35 %, Anda harus rajin melobi para pejabat, menjilat para atasan, mengelabui mitra usaha, dan mengesampingkan social responsibilty, tetapi risikonya bisnis Anda paling tidak hanya mampu bertahan selama 5 tahun, karena banyaknya masalah yang timbul dari praktik usaha semacam itu.
Namun, jika Anda memilih keuntungan yang lebih sedikit, 10% tetapi dengan memperhatikan etika bisnis serta mempunyai social responsibility yang besar, bisnis Anda jelas akan dapat berjalan dengan baik.
Pernyataan diatas diperkuat dengan hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] yang melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan, diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.
Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan.Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang.
Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yg masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.
Selanjutnya kondisi sekarang di Indonesia Pada dekade terakhir kerapkali terjadi kecelakaan, musibah dan penipuan yang disebabkan oleh kalangan perusahaan, sehingga menimbulkan stigma negatif perusahaan di kalangan masyarakat (stakeholders) seperti pada kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh perusahaan Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport Papua, masalah semburan lumpur panas Lapindo di Surabaya dan terakhir yang heboh adalah kasus Bank Century yang hingga kini masih triliunan rupiah dana nasabah tidak dapat dipertanggungjawabkan, ini merupakan contoh terburuk dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab.
Memang hal ini lebih dikarenakan faktor teknis dan human error- yang telah menjadi “pemicu” untuk kembali menyerukan tanggung jawab kalangan perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga menjadi alasan perlunya kesadaran terhadap Corporate Social Responsibility demi tercapainya sebuah keseimbangan dunia usaha antara pelaku dan masyarakat sekitar (Local community).
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani berinspirasi dan mengekspresikan tuntutan terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yang berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital gain (profit) dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi baik materiil maupun imateriil kepada masyarakat dan pemerintah.

CSR yang seharusnya telah terintegrasi dalam hierarki perusahaan sebagai strategi dan policy manejemennya, tetap masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan pelaku bisnis di Indonesia. Esensi dan signifikansi dari CSR masih belum dapat terbaca sepenuhnya oleh pelaku bisnis, sehingga CSR sendiri baru sekedar wacana dan implementasi atas tuntutan masyarakat. Hal ini otomatis akan mengurangi implementasi dari CSR itu sendiri.
Masalahnya semakin rumit ketika tetap saja para pelaku dan investor berpijak pada stereotipe bahwa CSR tidak profitable, tidak berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan perusahaan. Mereka cenderung ingin yang instan, langsung mendapat profit besar, tanpa peduli terhadap masalah-masalah eksternal perusahaan. Selain itu, investor juga terlalu menginginkan realisasi investasi mereka untuk sektor riil dalam artian benar-benar berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan. Padahal, CSR memiliki dimensi yang jauh lebih rumit dan kompleks dari sekedar analisis laba-rugi.
Pengenalan terhadap budaya setempat atau analisis terhadap need assesment semestinya menjadi hal krusial yang mesti dilakukan. Poin diatas inilah yang terkadang menyebabkan konflik kepentingan, sehingga dunia usaha terkadang merasa program CSR bukanlah kompetisi mereka. Paradigma mengenai kontribusi pajak perusahaan terhadap negara semakin menambah runyam. Ada beberapa kalangan yang menilai jika masalah sosial hanya merupakan tanggungjawab negara saja, dunia usaha cukup membayar pajak untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat.
Pemikiran ini sudah tidak relevan, justru perusahaan yang akan memenangkan kompetisi global adalah perusahaan yang memiliki kemampuan public relation yang baik, salah satunya dapat dicapai dengan mencanangkan program CSR yang terintegrasi sebagai standar kebijakan dan strategi bisnis mereka. Lagipula, dengan adanya anggapan bahwa dunia usaha merupakan bagian yang terintegrasi dalam masyarakat, sudah sepatutnya jika dunia usaha berkewajiban untuk membantu menyelesaikan masalah sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, semestinya dunia usaha tidak mengganggap CSR sebagai kewajiban yang memaksa, sebagai refleksi dari tuntutan masyarakat terhadap dunia usaha. Jika perusahaan masih mempertahanakan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidak puasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) akan berdampak adanya anarkisme, vandalisme, maupun bentuk-bentuk kegiatan represif dari masyarakat lainnya akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kotribusi yang nyata.

CSR DAN PERBANKAN
Terlepas dari hal diatas, bisnis perbankanpun (baca lembaga perbankan) tidak luput dari tanggung jawab sosial yang harus diemban, karena lembaga ini merupakan lembaga kepercayaan, sehingga dalam menjalankan fungsi perbankan wajib memperhatikan kepentingan nasabah dan kepentingan masyarakat (stakeholders). Apabila diabaikan maka cepat atau lambat bisnis perbankan bisa terpuruk.
Jadi dengan kata lain lembaga perbankan tidak saja memiliki tanggung jawab ekonomi moneter menerapkan prinsip kehati-hatian Bank (Prudential Bank), sebagai lembaga intermediasi untuk menerima dan menyalurkan kembali dana masyarakat, di luar itu juga ada tanggung jawab etis, sosial dan tanggung jawab discretionary, yaitu tanggung jawab yang semestinya tidak harus dilakukan tapi dilakukan atas kemauan sendiri.
Sebagai contoh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, sesuai Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut, terdapat tiga pilar utama yang menjadi tugas Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasai bank. Selain dituntut untuk dapat melaksanakan tugas-tugas utamanya tersebut, Bank Indonesia juga diminta untuk tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan (komunitas) sebagai wujud corporate social responsibility.

CSR BPD
Disamping itu bank umum seperti BPD selain merupakan lembaga kepercayaan, juga merupakan lembaga pendukung pembangunan daerah, karena secara filosofi BPD didirikan dengan peran sebagai alat penggerak perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin marginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank).
Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada tahun 2008 yakni 34,96 juta jiwa (15,4%), sedangkan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 9,43 jiwa (8,46%).
Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar tersebut, muncul berbagai reaksi untuk memperbaikinya, antara lain program stimulus fiskal seperti perbaikan kesejahteraan, bantuan langsung tunai (BLT), beras rakyat miskin (RASKIN) dan sebagainya yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya mengentaskan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak memiliki daya dan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya BPD seluruh Indonesia wajib menjadikan CSR sebagai “roh” untuk memberi nilai tambah kepada masyarakat setempat (stakeholders). Jika BPD masih mempertahankan paradigma lamanya maka siap-siaplah menerima risiko reputasi dan risiko hukum dikemudian hari.
Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik benang merah bahwa BPD wajib melaksanakan CSR dalam usahanya agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal, semoga...

Hill, Ronald, Thomas Ainscough, Todd Shank and Dary Manullang, Corporate Social Responsibility and socially Responsible Investing : A Global Prespektive, Journal of Business Ethick; Januari 2007, Volume 70 Issue 2, p१65-१74.

PERMASALAHAN CSR BPD DAN SOLUSINYA

Kamis, 22 April 2010
PERMASALAHAN CSR BPD DAN SOLUSINYA !

Akhir-akhir ini CSR atau disebut tanggung jawab sosial perusahaan mulai dingin dan tidak memiliki gaung yang kuat karena pemberitaan mengenai perlunya CSR di Indonesia hanya dilihat sebelah mata saja pada hal sesuai Pasal 74 UU No.40/2007 mewajibkan setiap perusahaan PT wajib hukumnya menjalankan CSR. Untuk menjawab hal tersebut dan banyak pertanyaan yang sering masuk dalam bloger ini maka saya berkewajiban untuk menjawabnya dalam tulisan wawancara dibawah ini, selamat membaca.
1. Apa itu Corporate Social Responsibility (CSR) dan sejarahnya?
Banyak definisi tentang CSR, tetapi yang sederhana adalah bagaimana perhatian suatu perusahaan terhadap kualitas hidup stakeholders (khususnya masyarakat setempat). Kalau mengenai sejarah CSR, bermula dari pendapat Milton Friedman bahwa perusahaan itu hanya mencari profit (The business of business is business), namun karena tuntutan dan tekanan masyarakat terutama pengamat sosial bahwa ada “mounting public anxiety about the growth of corporate power and potential for coporate misconduct”, maka lahirlah paradigma baru perusahaan yakni triple botom line (3 P); perusahaan selain (P)rofit juga wajib memperhatikan sosial kemasyarakatan /(P)eople dan lingkungan /(P)lanet.

2. Apakah CSR itu wajib dijalankan perusahaan ?
Seperti tadi sudah saya katakan, pada dasarnya tujuan utama dari pendirian perusahaan adalah mencari profit, tetapi, dalam menjalankan perusahaan, harus juga menaati semua peraturan hukum yang berlaku, menjalankan sesuai etika moral yang berlaku dan memperhatikan lingkungan. Inilah yang disebut tanggung jawab legal, ekonomi, etis dan tanggung jawab lingkungan, yang saling menopang tidak bisa berdiri sendiri- sendiri.

CSR adalah kegiatan sukarela. Tetapi, perkembangan global akibat tekanan internal maupun eksternal saat ini menuntut CSR menjadi suatu kewajiban yang tidak bisa ditolak. Suka atau tidak suka, harus dijalankan sebagai bentuk tanggungjawab kepada stakeholders.

3. Kami membaca tesis anda menarik sekali, tentang praktik CSR di salah satu BPD, apa sebenarnya inti permasalahan yang anda teliti dan kira-kira solusinya bagaimana ?

Ceritanya panjang, akan tetapi dapat saya sampaikan bahwa masih sangat kurang penelitian tentang CSR BPD, masalahnya karena CSR di BPD ibarat suatu jenis tanaman baru apakah berakar tunggal atau berakar serabut, atau suatu jenis binatang baru, apakah merayap atau melata dan seterusnya.
Ok, kita masuk dalam inti persoalan. Hasil penelitian menujukan bahwa praktik CSR di BPD baru dalam tahap pertama disebut corporate charity. berupa dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan atau tradisi setempat. Seperti Santha Claus membagi hadiah saat perayaan natal atau membagi sedekah saat idhul kurban, membagi angpao saat perayaan Imlek, memberi beras, susu, saat bencana alam atau musibah seperti busung lapar. Jadi misinya hanya mengatasi masalah sesaat sehingga pengeloaannya hanya berjangka pendek dan parsial, sifatnya sukarela (voluntary) dan tidak terencana / terprogram.

4. Jadi CSR yang baik itu seperti apa ?
Ada tahap kedua yakni corporate philantrophy berupa dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial, tetapi yang baik adalah tahap ketiga corporate citizenship yakni motivasi kemasyarakatan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. Jadi tahap ketiga sikapnya memberdayakan manusia.

5. Maksud dari pemberdayaan masyarakat itu Community Development ?
Ya, betul.. Comdev itu artinya perusahaan memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat (stakeholders) secara nyata dan tertuang dalam suatu komitmen dan kebijakan perusahaan, keterlibatan sosial baik dana maupun daya dalam bentuk hibah sosial dan atau hibah pembangunan.


6. Bentuk keterlibatan social itu seperti apa ?
Cara Pertama, bisa terlibat langsung artinya menyelenggarakan CSR sendiri dengan menyiapkan seorang pejabat senior seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. Cara Kedua, melalui atau membentuk yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Cara ketiga, bermitra dengan lembaga sosial atau LSM baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya, dan Cara Keempat, adalah Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan - perusahaan yang mendukung secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama. Dari keempat cara ini mana yang cocok itu semuanya berpulang dari perusahaan masing-masing !

7. Menurut Anda kalau di BPD bentuk keterlibatan sosial yang tepat itu apa ?
Menggunakan cara keempat yakni dalam wadah BPD-SI, kita buat semacam konsorsium / forum peduli sosial (Forum Multi Stakehoders) yang beranggotakan seluruh BPD-SI, melibatkan unsur masyarakat / LSM dan pemerintah Pusat serta Pemda setempat.

8. Ide Anda baru dan rasanya berat untuk dilaksanakan karena tiap BPD memiliki karakteristik yang berbeda?
Ide ini bukan baru sudah lama dipraktekan, contoh saja Kabupaten Kutai Timur Kaltim oleh mantan Bupati dan sekarang Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak sudah jalan, beliau membentuk Forum Multi Stakehoders (FMS) yang kelembagaannnya terdiri dari Dewan Pengarah FMS dan badan pelaksana FMS terdiri dari beberapa perusahaan di Kutai Timur, masyarakat/LSM dan pemerintah. Nah.. kalau seluruh BPD memiliki komitmen yang sama, bersatu membentuk forum tersebut, saya yakin kekuatan BPD sebagai agen development untuk menaikan kualitas hidup masyarakat dapat terwujud.

9. Selanjutnya menyangkut teknis merancang program CSR, dari mana kita mesti memulai? Kemampuan perusahaan atau kebutuhan masyarakat?
Program CSR sebaiknya dirancang berangkat dari apa yang paling dibutuhkan masyarakat, karena harus memberi dampak positif kepada masyarakat. Tidak ada guna jika rancangan program mengikuti keinginan perusahaan, artinya perusahaan mestinya melakukan assesment secara internal untuk menilai kapasitas organisasinya, sehingga dengan demikian, program CSR tidak mengganggu aktivitas utama sebagai entitas bisnis.

10. Tehnik asessment internal yang bagaimana ?
Jadi pertama, lakukan penilaian dan identifikasi masalah; contohnya melihat kemiskinan masyarakat setempat, cari inti permasalahan mengapa sampai mereka miskin, apa sebab miskin?, karena; tidak ada pekerjaan / pengangguran, tidak memiliki ketrampilan, budaya tidak mendukung, dan seterusnya.

11. Terus setelah teknik asessment, tindakan selanjutnya ?
Harus ditentukan perusahaan ikut terlibat disemua persoalan atau memilih satu bidang persoalan?. Artinya semua persoalan itu penting, tetapi harus menghitung berapa sumberdaya yang dimiliki perusahaan?. Jadi lebih fokus pada bidang tertentu agar memiliki dampak yang signifikan. Misalnya, perusahaan ingin melakukan CSR untuk meningkatkan kualitas pelajar agar dapat diterima di lembaga perbankan. Sebaiknya dipertajam fokus tersebut dengan memilih siswa di level manakah yang hendak menjadi sasaran.

12. Selanjutnya, bagaimana menentukan prioritas program?
Seperti tadi, selanjutnya perusahaan harus melakukan need assessment terhadap lingkungan masyarakat setempat. Yang pertama, harus mencari apa yang paling dibutuhkan masyarakat setempat? Caranya perusahaan harus berdialog dengan masyarakat setempat. Bisa juga mengajak LSM setempat untuk menggali kebutuhan dan persoalan yang kerap terjadi. Cara kedua, membuat maping, agar program CSR yang dibuat tidak tumpang tindih dengan program lainnya.

13. Apakah CSR harus butuh dana yang besar ?
Sebenarnya tidak. CSR bukan saja melulu duit. Tidak apa-apa kalau perusahaan menyiapkan dalam setahun penyisihan labanya atau rekening CSRnya minim sesuai kemampuan perusahaan. Yang utama adalah apakah penyaluran dana tersebut tepat sasaran atau tidak dibandingkan dana yang besar tetapi tanpa perencanaan. Perusahaan bisa menyiapkan daya berupa tenaga karyawan untuk kerja bakti sosial atau mengajar. Jadi, tak ada alasan perusahaan tidak melaksanakan praktik CSR.

14. Pertanyaan berikutnya, bagaimana seandainya perusahaan menolak keras untuk tidak menerapkan praktik CSR ?
Jawabannya mudah, siapa menabur angin menuai badai. Artinya tidak bermaksud menakut-nakuti, jika perusahaan tidak melaksanakan program CSR bersiap-siaplah menerima risiko reputasi berupa penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes, karena masyarakat kita sudah mengerti dan memahami kontribusi suatu perusahaan.

15. Yang terakhir, apa tolok ukur keberhasilan program CSR?
Sederhana saja, tolok ukur keberhasilan dapat dilihat dari dua segi yakni perusahaan dan masyarakat. Dari segi perusahaan, reputasinya bertambah cemerlang dimata masyarakat, dan dari segi masyarakat terjadi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Yang terukur dari apakah masyarakat tersebut bisa mandiri, tidak melulu bergantung pada pertolongan pihak lain.